Header Ads

  • NU News Update

    Profil Mbah Hasyim Asy’ari Sang Pendiri Nahdlatul | Part-1

    Profil Mbah Hasyim Asy’ari Sang Pendiri Nahdlatul | Part-1

    Profil Sang Pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy'ari


    KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yang lebih akrab dengan panggilan Mbah Hasyim, merupakan salah satu ulama paling berpengaruh di Indonesia. Dan siapa yang tidak kenal dengan Beliau, yang juga pendiri dan Rais Akbar dari Nahdatul Ulama, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Selain itu Beliau juga merupakan Pahlawan Nasional Indonesia.

    KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dilahirkan pada Selasa Kliwon, 24 Dzulqa’dah 1287 H atau 14 Februari 1871 M, di Desa Gedang, Tambakrejo, Jombang, Jawa Timur. Beliau wafat pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebuireng, Jombang.

    Mbah Hasyim merupakan putra ketiga dari sebelas bersaudara dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Ayahnya Kiai Asy’ari berasal dari Demak, dan ibunya Halimah adalah putri Kiai Utsman, Pengasuh pesantren Gedang. Dari garis keturunan ibunya, silsilah keluarganya sampai pada Brawijaya VI. Sementara dari silsilah pihak ayahnya bertemu dengan Joko Tingkir (Sultan Pajang).

    Masa Mbah Hasyim Kecil


    Pada tahun 1876 M atau tepatnya, Mbah Hasyim berusia 6 tahun, Beliau bersama kedua orang tuanya pindah ke desa Keras sekitar 8 kilometer selatan kota Jombang. Di desa ini, Mbah Hasyim diberi tanah oleh sang kepala desa, yang pada gilirannya digunakan untuk membangun sebuah rumah, masjid dan pesantren. Di sinilah, Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama yang kokoh oleh orang tuanya (Ensiklopedia NU: 2014).

    Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Mbah Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin.

    Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar (tua secara umur) ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Mbah Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain.

    Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu Pesantren di Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi ke Pesantren Trenggilis, Surabaya.

    Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, Hasyim muda melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil. Lima tahun kemudian, pada 1891, Mbah Hasyim belajar di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo di bawah asuhan kiai Ya’qub. Di pesantren inilah, agaknya, Mbah Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan.

    Masa Mbah Hasyim Dewasa


    Kiai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Lima tahun Mbah Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Sehingga, Kiai Ya’qub sendiri menyukai pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Mbah Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Khadijah, salah satu putri Kiai Ya’qub. Pada fase inilah, saya sebut, Mbah Hasyim dewasa.

    Beberapa hari setelah pernikahannya, Mbah Hasyim dan istri beserta mertuanya berangkat ibadah haji ke Mekkah, dan kemudian bermukim di sana. Pada bulan ketujuh, Nyai Khadijah melahirkan bayi yang diberi nama Abdullah. Namun, ibu dan bayinya meninggal dunia. Setelah musibah itu, Mbah Hasyim pulang ke tanah air, namun kemudian kembali lagi ke tanah suci bersama saudaranya Anis, dan bermukim di sana lagi.

    Selama di Mekkah, Mbah Hasyim berguru kepada sejumlah ulama besar, di antaranya Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.

    Selama tinggal di jazirah Arab, Mbah Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Adapun nama-nama muridnya di antaranya Syaikh Sa’dullah al-Maimani (Bombay, India), Syaikh Umar Hamdan (ahli Hadits di Mekkah), Asy-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syria), KH. Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas Jombang), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), dan KH. Shaleh (Tayu).

    Sumber : NUPEDIA.OR.ID

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    hitung zakat lazisnu,